Ini adalah kisahku, kisah seorang
gadis yang mencoba mencari kesempurnaan kehidupan. Seorang gadis yang begitu
biasa, berpenampilan tak begitu menarik, atau bahkan boleh dikata seorang gadis
berkacamata cukup tebal yang hanya berkawankan deretan buku yang terpajang
rapih di rak perpustakaan. Aku tak memiliki banyak kawan di sekolah, tak hanya
dari adik-adik kelas maupun teman-teman seangkatan, teman sekelasku pun tak
begitu sering membahasku dalam pembicaraan di kelas, kecuali jika kami akan
dibagi perkelompok. Tapi, walaupun begitu, aku juga mempunya seorang sahabat
karib, namanya Aisyah. Kami bersahabat dari kelas X sampai kelas XII sekarang
ini, kami tak pernah pisah kelas, tak pernah pisah bangku, selalu dalam ekskul
yang sama, baik itu tim kreatif mading maupun remaja mesjid. Namun, Aisyah
berbeda denganku, ia sangat smart dan
banyak diidolakan oleh teman-teman maupun kakak kelasku dulu, sedangkan aku?
Aku bagaikan tumbuhan penggangu yang selalu merusak mata lelaki yang menatap
Aisyah jika kami berjalan bersama. Terunduk.. merasa bersalah, itulah yang
kurasakan saat ini.
Suatu hari, sebuah kampus negeri di
kotaku datang bersosialisasi ke sekolah, kampus negeri ini cukup ternama dan
tak sedikit dari teman-teman kelasku yang berniat untuk melanjutkan kuliah di
sana nanti. Aku? Sampai saat ini aku belum kepikiran mau kuliah dimana dan
mengambil jurusan apa. Aneh ya untuk pelajar tingkat akhir sepertiku? Yah
itulah aku, manusia yang selalu dihantui oleh rasa cemas, manusia yang bias
dikata cukup introvert, manusia yang kadang tak bias berpikir sendiri, tak bias
mandiri. Masa depan terbaikku adalah masa depan yang dipilhkan oleh orangtuaku,
itulah paradigma yang tertanam sejak aku menginjak bangku sekolah.
Kakak-kakak yang datang
bersosialisasi ke sekolahku ternyata sebagian dari alumni sekolah kami juga.
Seperti biasa, aku hanya duduk sedikit membungkuk hingga terkesan menunduk agar
tak diperhatikan oleh orang-orang. Tapi tanpa aku sadari, hal inilah yang
sebenarnya membuatku makin diperhatikan oleh semuanya. “Sial!!!” ketusku dalam
hati. Satu-persatu kakak-kakak itu mulai memperkenalkan nama dan jurusan
mereka, dengan almamater berwarna kuning kebanggannya, mereka juga
memperkenalkan segala sistem kampus mereka, aku terkagum! Hingga tiba pada satu
orang yang begitu kuhafal raut wajahnya, bentuk wajahnya, senyum bibirnya, dan
karisma yang dimilikinya, ya dia itu Kak Furqon, mantan ketua tim mading
sekolah kami dulu, ia sempat menjadi ketua devisi ketika aku juga ikut terlibat
dalam kegiatan tim mading tersebut. Ia kini seorang mahasiswa Psikologi, WAH!!!
Aku tak hentinya terkagum dibuatnya. Mataku tak lepas memperhatikan seluruh
gerak tubuhnya, Aisyah kelihatan heran melihat tingkahku hari ini. Beberapa
menit berlalu dan sosialisasi mereka pun berakhir dengan tepuk tangan yang
meriah dari seisi kelas.
Sejak saat itu, aku begitu tertarik
dengan dunia Psikologi, bukan hanya karna Kak Furqon yang diam-diam telah
kukagumi dari 2 tahun terakhir, tapi setelah mendengar penjelasan panjang lebar
Kak Furqon tentang seru dan menantangnya kuliah jurusan Psikologi. Niatku untuk
mengambil jurusan psikologi ternyata mendapat restu dari kedua orang tuaku,
sangat bahagia, aku makin bersemangat untuk menjadi maba Kak Furqon lagi.
Seperti halnya gadis biasa yang sedang kasmaran, akupun mencoba mencari celah
sekecil apapun untuk bisa berkomunikasi dengan Kak Furqon, salah satunya dengan
menanyakan seluk beluk psikologi yang sebenarnya sudah kubaca dari Wikipedia,
namun tetap saja ini kujadikan media untuk berkomunikasi dengannya. Aku rasa
egoku saat ini telah berfungsi.
Makin mendekati UN dan SNMPTN, aku
semakin bersemangat untuk kuliah di psikologi, komunikasi dengan Kak Furqon pun
berjalan begitu lancar. Tanpa kusadari, sedikit demi sedikit penampilanku pun
agak berubah. Kata Aisyah aku sedikit lebih modis, lebih bergaya dari yang
biasanya, lebih berdandan, pokoknya tanda-tanda kasmaran telah terpancar jelas
dari penampilanku. Bukan hanya itu, sifatku yang tadinya introvert sedikit demi
sedikit mulai membuka diri pada lingkungan sosialku. Tak sedikit orang yang
heran melihat perubahanku ini. Hingga pada suatu hari aku mulai melepas jilbab
yang selama hampir tiga tahun ini menutup auratku, penampilanku waktu itu
segera kuabadikan dengan kamera handphoneku dan kupasang sebagai foto profil di
Facebook. Hal ini semata-mata kulakukan agar Kak Furqon tahu aku tak kalah
cantiknya dengan perempuan-perempuan lain yang menyukainya. Kini masa depanku
telah jelas, cita-cita dan cinta!
Ternyata apa yang kupirkirkan tak
sejalan dengan teman-temanku, termasuk Aisyah dan semua teman-teman kelasku
yang mulai kurasakan keakrabannya. Mereka begitu garang melihat tingkahku yang
menurutnya semakin melunjak, aku bahkan menjadi dihindari oleh teman-teman
sekelasku, namun tidak untuk Aisyah. “Nis, aku tahu kamu cantik, cantik banget
malah kalau dandan, kalau rambutnya terurai. Tapi Anis tau kan kalau rambut itu
adalah aurat? Aurat yang hanya bisa dilihat oleh muhrim dan mahrom kita. Anis,
tau tidak kamu itu lebih cantik kalau
pakai jilbab. Anis, ingat tidak kata-kata Kak Furqon tempo hari waktu aku naksir
berat sama Kak Hilman dan berniat pengen pake hijab? Kak Furqon bilang, jangan
pernah ubah diri kamu untuk seorang pria, baik itu ke yang baik apalagi yang
buruk. Kalau mau berubah, harus niatnya dari hati, soalnya kalau gara-gara
pria, pas udah gak sukanya nanti berubahnya juga sepotong-sepotong deh. Jangan
sampai cinta kepada pria lebih besar daripada cinta kepada Allah. Aku yakin Kak
Furqon juga akan lebih suka kamu yang berjilbab.”
Aku sedikit berkaca mendengar nasihat
dari seorang sahabatku ini, beberapa hari ini aku telah berhasil dibutakan oleh
nafsu dan ego pribadi. Aku menghela nafas panjang, kupeluk Aisyah sebagai tanda
aku sependapat dengan perkataannya yang dikutip dari Kak Furqon dulu. Sejak
saat itu, aku mulai tutup buku mengenai Kak Furqon, saat ini aku makin
bersungguh-sungguh untuk persiapan UN dan SNMPTN nanti, teman-teman kelas pun
kembali ramah kepadaku melihat aku yang telah kembali seperti dulu, namun tidak
untuk sifatku, saat ini aku menjadi Anisa yang ekstrovert.
UN berlalu dan aku dinyatakan lulus
dengan nilai yang menurutku sangat memuaskan, SNMPTN dengan jurusan Psikologi
di pilihan pertamaku ternyata juga sama manjurnya dengan UNku. Sungguh, saat
ini aku merasa menjadi umat yang sangat disayangi Allah. Setelah resmi menjadi
Mahasiswa Baru Fakultas Psikologi, semua memberikan selamat kepadaku, termasuk
juga Kak Furqon yang kini menjadi seniorku. Delapan semester berlalu dan kini
aku resmi mendapatkan gelar S.Psi., pada ujung namaku, sungguh tak
henti-hentinya aku merasa menjadi hamba yang sangat disayangi-Nya. Tak
berhitung bulan dari wisudaku, Kak Furqon datang ke rumah dengan kedua
orangtuanya, Kak Furqon meminta untuk melamarkan aku untuknya, sungguh aku
begitu terkejut, kini aku begitu yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik
hamba-Nya yang sabar, untukku, dan untuk Kak Furqon yang diam-diam juga telah
lama memendam rasa padaku. Selalu ada akhir bahagia untuk kisah cinta yang
tulus.
0 comments:
Post a Comment